BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Kehidupan manusia
tentu tidak lepas dari sebuah peraturan, adat maupun kebiasaan. Hal-hal
tersebut biasa tercantum dalam sebuah undang-undang. Undang-undang adalah hukum
yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur ketahanan yang lainnya.
Undang-undang berfungsi untuk digunakan sebagai otoritas, untuk mengatur, untuk
menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk menghukum, untuk memberikan,
untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi sesuatu.
Undang-undang melayu
lama adalah bagian penting dari sejarah yang tidak boleh dilupakan.
Undang-undang melayu merupakan adat kebiasaan orang-orang melayu, adat
kebiasaan yang dibentuk dengan peredaran masa. Karena itu, dalam undang-undang
melayu sering terbayang falsafah hidup dan pemikiran orang-orang melayu. Hal
ini menyebabkan undang-undang melayu sangat penting untuk dipelajari, terutama
dua naskah melayu yang terkenal, yaitu undang-undang melaka dan undang-undang
minangkabau.
TUJUAN
1. Menjelaskan berbagai
macam undang-undang Melayu Lama
2. Untuk
mengetahui isi naskah undah-undang Melayu Lama
MANFAAT
1. Menambah ilmu
pengetahuan
2. Mengetahui apa itu
undang-undang melayu lama.
3. Mengetahui berbagai
macam naskah yang ada pada undang-undang melayu lama.
BAB II
ISI
UNDANG-UNDANG MELAYU LAMA
Undang-undang Melayu
Lama tidak boleh dianggap sebagai undang-undang yang diluluskan oleh kerajaan.
Undang-undang Melayu adalah adat kebiasaan orang-orang Melayu, adat kebiasaan
yang dibentuk dengan peredaran masa. Didalamnya sering sering terbayang
falsafah hidup orang-orang Melayu, fikiran orang-orang Melayu. Orang-orang
Melayu sendiri adalah bangsa yang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan atau
perubahan jaman.
Undang-undang Melayu sebenarnya boleh dikatakan sejarah
pemikiran orang-orang Melayu. Di bawah ini akan kami bicarakan dua jenis
undang-undang Melayu terkenal, yaitu Undang-undang Malak dan Undang-Undang
Minangkabau.
Undang-undang Melaka
sebenarnya terdiri dari dua bagian, yaitu Undang-undang Melaka dan
Undang-undang Laut. Undang-undang Melaka dipakai di darat, sebagai hukum dalam
kehidupan sehari-hari. Sedangkan Undang-undang laut dipakai dalam pelayaran.
Undnag-Undang
Melaka
Undang-undang Melaka
ialah naskah undang-undang Melayu yang tertua dan terpenting. Dikenal sebagai
Undang-undang Negeri malaka juga Risalah Hukum Kanun atau Hukum Kanun Sahaja.
Dan ada juga yang dinamai Undang-undnag Melayu. Werndly (1735), sudah menyebut
sebuah naskah berjudul Hukum Kanun.
Akan tetapi, perhatian
orang terhadap undang-undang Melayu sangat kurang, sehingga timbul pendapat
yang mengatakan bahwa orang-orang Melayu tidak mempunyai undang-undang. Orang
Melayu dianggap hanya memiliki adat kebiasaan dan peribahasa saja, yang
dipakai untuk menentukan perselisihan atau perkara yang timbul.
Namun, Stamford Raffles
membantah pendapat ini. Dalam sebuah karangannya yang berjudul Asiatic
Rearchess XII (1818). Raffles berkata antara lain : Tiap-tiap negari Melayu
mempunyai naskah undang-undangnya yang disusun pada masa yang berlainan
atas perintah rajanya.
Di tempat lain Raffles
menganjurkan supaya tiap-tiap penghulu atau orang-orang besar dlam negeri
diminta menuliskan undang-undang yamg berlaku dalam negeri mereka
masing-masing. Raffles sendiri sering mengupah juru-juru tulis untuk menyalin
naskah undang-undang Melayu, terutama Undang-undang Minang Melaka.
Mungkin, inilah sebabnya jumlah naskah Undnag-undang Melaka banyak sekali dan
tedapat di perpustakaan-perputakaan di Jakarta, London, dan Leiden.
Sejak Raffles
menulis karangannya tentang undang-undang Melayu, perhatian para sarjana
tentang undang-undang Melayu semakin bartambah. Pada tahun 1845, Dulaurier
menerbitkan salah satu naskah Undang-undang Laut Melaka di paris. Pada tahun
1919, Ph. S. Van Ronkel menerbitkan Risalah Hukum Kanun, ialah Undang-undang
Melaka, yang sampai sekarang masih sering dirujuk oleh para sarjana.
R.O Winstedt (1952)
beliau menerbitkan satu naskah undang-undang yang dianggap dapat membetulkan
bacaan yang salah dalam Risalah Hukum Kanun yang diterbitkan oleh Ph S. Van
Ronkel. Pada tahun 1956, beliau (bersama-sama dengan P.E Josselin de Jong)
menerbitkan pula satu naskah undang-undang laut Melaka, dengan berdasarkan tiga
belas buah naskah yang terdapat di London.
Pada mulanya, para
sarjana termasuk Ph. S. Van Ronkel dan R.O. Winstedt, menyangka bahwa Undang-undang
Melaka tertulis pada tahun 1523-4, semasa orang Portugis datang datang ke
Bintan menanyakan orang-orang tawanan Portugis pada Sultan Mahmud Syah, sultan
Melaka yang terakhir. Kemudian R.O. Winstedt mengubah pendapatnya.
Dikatakan bahwa
penyebutan nama tawanan adalah tambahan, dan tidak ada hubungan langsung
dengan fasal undang-undang yang dibicarakan. Demikian juga Sultan Mahmud
(Sultan Melaka yang terakhir) yang disebut dalam beberapa naskah harus dianggap
sebagai orang yang menambahkan fasal-fasal tambahan pada Undang-undang Melaka dan
bukan orang yang menyuruh menyuratkan Undang-undang Melaka.
Ditegaskan oleh
Winstedt, semua versi Sejarah Melayu ada menyebut Sultan Muzaffar Syah, sultan
Melaka yang memerintah antara tahun 1446-56, sebagai yang menyuruh menyuiratkan
kitab undang-undang supaya jangan lagi bersalahan segala hukum menterinya. R.O
Winstedt lalu menarik kesimpulan, bahwa Undang-undang Melaka tertulis pada
zaman Sultan Muzaffar Syah (1446-56), ketika Malaka sedang meluaskan
pengaruhnya ke daerah lain.
Naskah Undang-undang
Melaka banyak sekali, lebih dari 30 buah. Yang dibagi menjadi dua golongan
yaitu naskah golongan asli dan naskah saduran yang agak modern. Kedua golongan
naskah ini pada pokoknya sama, Perbedaannya biasanya berupa penerangan tambahan
yang terdapat pada naskah saduran yang modern dapat menerangkan naskah yang
lebih tua.
Di samping itu, ada
pula naskah yang “rosak”, diamana undang-undang dicampurkan dengan cerita
rakyat. Menurut Ph. S. Van Ronkel pembagian yang asli rupa-rupanya terdiri dari
19 fasal seperti yang nampak pada dua naskah Jakarta, Bat.Gen 154 dan Bat.Gen
152 dan nakah Leiden, Klinkert 67C . Beliau menambahkan beberapa fasal tentang
gantang dan cupak, hutang dan pembayarannya, sehingga menjadi 27 fasal.
Naskah Leiden (Cod.
1705) yang menjadi dasar penerbitan Van Ronkel dan naskah Jakarta (collectie
v.d. W. 13) adalah contoh yang baik. Sesudah Islam bertapak di Nusantara
dan untuk menyesuaikan hukum islam, ditambah lagi 17 fasal hingga menjadi 44.
Pembagian ini adalah yang paling umum. Inilah sebabnya Undnag-undang Melaka
mendapat judul Risalah Hukum Kanun.
Dalam naskah
undang-undang juga selalu dijumpai catatan : pada hukum Allah demikian
hukumnya, seandainya hukum Adat berlainan dengan hukum Islam. Sebenarnya
pembagian fasal dalam undang-undang Melayu, sukar dipegang. Boleh dikatakan
bahwa hampir setiap fasal menceritakan lebih dari satu perkara.
Walaupum begitu, perlu
juga disebut di sini bahwa ke 19 fasal yang pertama adalah sama pada semua
naskah. Urutannya yang mungkin sedikit berlainan, perkara yang dibincangkan
mungkin tidak sama banyaknya, tetapi pada garis besarnya mereka adalah sama. Ke
19 fasal pertama ini juga terdapat dalam naskah Jakarta yang berjudul
Undang-undang Melayu (collectie v.d. W. 59) yang menurut catatan Ph. S. Van
Ronkel seolah-olah tidak ada hubungan sama sekali.
Ringkasan isi: Risalah
Hukum Kanun dimulai dengan menyatakan orang-orang besar yang dijadikan raja,
yaitu bendahara, temenggung, syahbandar dan penghulu bendahara serta tugas
masing-masing. Kemudian dinyatakan bahwa Sultan Iskandar Syahlah (1424) yang
pertama masuk Islam dan menetapkan adat lembaga.
Undang-undang Laut
Undang-undang Laut
adalah hukum yang dipakai dalam pelayaran. Pada tahun 1818, Raffles sudah
menterjemahkan salah satu undang-undang laut ini ke dalam bahasa Inggris dan
terbit di Asiatic Researches Vol.12. Kemudian Ed Dulaurier menerbitkan satu
teks undang-undang laut di Paris dengan judul Institutions maritimes de
I’Archipel d’Asie en francais, textes Malay et Bougis, 1845.
Akhir-akhir ini R.O
Winstedt (bersama-sama dengan P.E de Josselin de Jong) menerbitkan pula satu
teks yang disusyn berdasarkan tigabelah buah naskah yang tersimpan di London
dan Leiden (JMBRAS Vol.29. pt. 3, 1956).
Perhatian yang
dicurahkan oleh para sarjana ini menunjukkan bahwa Undang-undang Laut adalah
sama pentingnya seperti Undang-undang Melaka. Pada umumnya para sarjana
berpendapat bahwa Undang-undang Laut ini tetulis pada zaman Sultan Mahmud
(1488-1511).
Semua naskah
menceritakan bahwa sultan Manmud (ada beberapa naskah menyebutnya Sultan
Muhammad), ketika dipohon oleh beberapa nahkoda yang menginginkan hukum
pelayaran yang tetap, lalu memerintahkan penulisan Undang-undang Laut ini.
Undang-undang Laut ini
biasanya terdiri dari duapuluh empat fasal atau lebih kurangnya duapuluh empat
fasal. Biarpun fasal-fasal yang dibincangkan itu berlainan jumlahnya, tetapi
isinya adalah sama.
Di bawah ini diberikan
satu ringkasan isi dari naskah yang diterjemahkan oleh Raffles ke dalam bahasa
Inggris. Terjemahan ini dibagi atas empat bab.
Bab I mulai
menceritakan bahwa tiga orang nahkoda memohon izin Sultan Mahmud Syah untuk
menuliskan Undang-undang laut. Bab II Menyatakan bahwa ada bagian-bagian tempat
tertentu dalam perahu yang tidak boleh dihampiri oleh semua orang, misalnya
balai lentang dan balai bujur.
Bab III menyatakan
bahwa orang-orang yang karena kapalnya karam atau kelaparan, lalu masuk menjadi
hamba nahkoda. Bab IV menyatakan bahwa yang berbuat khianat terhadap nahkoda
atau memakai keris di perahu sedangkan orang lain tidak, boleh dijatuhi hukuman
bunuh oleh nahkoda.
Undang-undang
Minangkabau
Naskah undang-undang
Minangkabau biasanya terdiri dari tiga bagian :
1. Tambo raja-raja
minangkabau
2. Undang-undang adat
Minangkabau
3. Hukum adat yang
ditinjau dari sudut hukum syara' atau fikih.
Bagian pertama selalu
dimulai dengan cerita penciptaan dunia serta anak cucunya. Selanjutnya adalah
cerita nenek Datuk Ketemanggungan (Temenggung) dan Datuk Perpatih nan sebatang
(Kayu). Kedua nenek inilah yang merupakan penghulu ditiap-tiap negeri. Mereka
jugalah yang membuat undang-undang di dalam negeri, itulah yang dinamai
undang-undang nan empat dan bermupakat lula membagi negeri dalam Luhak nan
tiga, Laras nan Dua.
Yang dinamai Luhak nan
Tiga :
1. Luhak tanah datar
2. Luhak Agam, dan
3. Luhak limapuluh Kota
Yang dinamai Laras nan
dua :
1. Laras kota piliang
2. Bodi Caniaga
Seterusnya adalah
cerita asal mulanya Pulau Perca bernama Minanhkabau serta "bahaya"
yang mengancam seluruh Minangkabau. "Bahaya" itu berupa teka-teki
dari seorang nahkoda yang harus diselesaikan, yaitu :
a). Menerka (menakuk)
kayu tataran serta menentukan ujung pangkalnya.
b). Menerka dua ekor
burung serta menentukan jantan-betinanya.
Bagian kedua, bagian
undang-undang adat menguraikan undang-undang yang berlaku didalam Minangkabau.
Dijelaskan bahwa adat Minangkabau ada empat jenis, yaitu :
Adat nan sebentar adat
Adat atau sifat makhluk
yang asli, yang semulajadi, misalnya : kambing mengembik, kerbau menguak, ayam
berkokok. Termasuk didalamnya peraturan yang biasa, misalnya "menumbuk di
lesung" dan tugas-tugas yang dikenakan pada suatu kedudukan, misalnya :
Kata raja, kata melimpahkan. Kata penghulu kata menyelesaikan.
Adat nan diadatkan
Terbagi menjadi empat
jenis :
1). Cupak nan dua
Cupak asli dan cupak
buatan. Cupak asli : Gantang nan papat, bungkal nan piawai
Cupak buatan ialah
pencarian segala penghulu yang ahlu akal di dalam negeri. Samada pencarian itu
mupakat syara' atau memyalahi syara'.
2). Kata nan empat
- Pertama, kata pusaka
ialah meletakan sesuatu pada tempatnya
- Kedua, kata mupakat
yaitu persetujuan yang didapati sekarang
- Ketiga, kata dahulu,
kata ditepati
- Keempat, kata
kemudian, kata bercari.
3). Undang-undang nan
empat
4). Negeri nan empat.
Adat nan teradat
Yang dimaksud dengan
adat nan teradat ialah adat yang terpakakai di dalam luhak atau laras. Inilah
nan dinamai "Cupak nan sepanjang betung, adat nan sepanjang jalan".
Adat istiadat
Adat jahiliyah yang
terlarang pada adat nan sebentar adat, seperti menyabung, berjudi, berlanggang,
bersorak-sorai dan lain-lain.
Undang-undang Melaka
dan undang-undang Minangkabau adalah dua naskah undang-undang yang terpenting.
Kedua undang-undang ini dianggap sebagai adat kebiasaan orang Melayu.
Undang-undang Melaka adalah Adat Temenggung, sedangkan Undang-undang
Minangkabau adalah Adat Perpatih. Semua naskah undang-undang yang
terdapat di negeri-negeri Melayu di Semenanjung adalah berasal dari kedua
undang-undang ini atau campuran dari kedua-duanya. Ada juga pengaruh hukum yang
syara'.
Undang-undang Pahang
Dalam Undang-undang
Pahang jelas nampak pengaruh Undang-undang Malaka. Undang-undang Pahang dimulai
dengan menceritakan orang-orang besar dalam negeri serta kewajibannya.
Seterusnya Undang-undang Pahang menceritakan pantang larang diraja, misalnya
pakaian kekuningan. Perkara-perkara lain, misalnya memalu atau membunuh orang,
meminjam hamba orang dan perzinaan yang dibahas dalam Undang-undang Malaka,
juga dibicarakan dalam Undang-undang Pahang ini. Pengaruh Islam nampaknya jauh
lebih besar dalam Undang-undang Pahang daripada dalam Undang-undang Malaka.
Terhadap orang-orang yang mencuri dan berzina, Undang-undang Pahang mengenakan
hukuman yang lebih keras. Orang yang mencuri, dipotong tangannya. Orang yang
berzina, jika bujang didera 100 rotan, lalu dibuang negeri. Jika muhsan (sudah
beristri), direjam, dilontar dengan batu dan ditanam hingga pinggang. Seperti
Undang-undang Malaka juga, Undang-undang Pahang mengenakan hukuman yang lebih
keras kepada hamba daripada kepada orang merdeka.
Undang-undang
Minangkabau (Perak) dan Undang-undang Sungai Ujung (Negeri Sembilan)
Kedua Undang-undang
ini, yaitu Undang-undang Minangkabau atau Undang-undang Duabelas dan Undang-undang
Sungai Ujung menunjukkan pengaruh Undang-undang Minangkabau yang nyata.
Undang-undang
Minangkabau atau Undang-undang Duabelas membahas Undang-undang nan Duabelas yaitu
samun sakar, dago-dagi, sumbang salah, upas racun, maling curi (siar bakar
tidak disentuh) serta keadaan salahnya (bukti-buktinya). Dibahas juga hukum
akal yaitu hukum wajib, mustahil dan jaiz, yang juga diuraikan dalam Undang-undang
Minangkabau, bahagian fikih. Tetapi pembicaraannya tidak teratur bahkan kacau.
Undang-undang Sungai Ujung, kalu dibandingkan dengan Undang-undang Duabelas
(Perak) lebih teratur. Sungguhpun begitu Undang-undang Sungai Ujung adalah satu
naskah Undang-undang Minangkabau yang sudah diperluas dan ditambah dengan hokum
syara’.
Undang-undang
Sembilanpuluh Sembilan
Undang-undang
Sembilanpuluh Sembilan adalah undang-undang yang dibawa ke Malaya oleh Sayid
Hasan (Atau Husaain) al-Farads dari Hadramaut dan terus dipakai oleh anak-cucunya.
Naskah Undang-undang Sembilanpuluh Sembilan ini disalin dari sebuah naskah
kepunyaaan Datuk Sayid Jaafar yang merupakan seorang tokoh yang penting yang
hidup di Perak pada akhir abad 19.
Menurut R.J. Wilkinson, Undang-undang Sembilanpuluh Sembilan
ini adalah undang-undang yang menggambarkan pelaksanaan Adat Temenggung. Dalam
undang-undang ini, pengaruh Undang-undang Minangkabau atau Adat Perpatih jauh
lebih jelas daripada pengaruh Undang-undang Melaka atau Adat Temanggung. Pada
tempat-tempat tertentu Nampak pengaruh hokum syariah (Islam).
Undang-undang Sembilanpuluh Sembilan menguraikan
perkara-perkara yang biasa dibahas dalam kitab undang-undang. Satu perkara yang
banyak dibahas ialah syarat-syarat yang diperlukan untuk menjabat berbagai
pekerjaan. Misalnya syarat menjadi raja, penghulu, kadhi, pegawai-pegawai dalam
masjid, yaitu imam dan khatib, pegawai pemerintah, hakim.
Dibicarakan juga juga
adat menghadap raja atau memilih raja. Terhadap perkara-perkara jenayah,
Undang-undang Sembilanpuluh Sembilan ini menunjukkan hukuman lunak. Misalnya
orang yang mencuri untuk pertama kali hanya perlu menggantikan benda yang
dicurinya. Tetapi untuk kali kedua jarinya dipotong.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Telah kita ketahui
bahwa Undang-undang Melayu adalah adat kebiasaan orang-orang Melayu, yaitu adat
yang dibentuk dengan peradaran masa. Karena itu, dalam undang-undang Melayu
sering terbayang falsafah hidup orang-orang Melayu, fikiran orang-orang Melayu.
SARAN
Sebagai penyusun kami
merasa masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Oleh karena itu, kami
mohon kritik dan saran dari pembaca.
Comments
Post a Comment