Membicarakan masalah gender dalam Al-Quran, maka kita akan melihatnya dalam dua sisi yang berbeda, yaitu: pada masa dulu dan masa sekarang (pra-modern dan modern). Hal ini, terjadi karena perkembangan penafsiran mengenai gender mengalami perkembangan dari masa ke-masa. Perkembangan ini tidak lain dilatarbelakangi oleh berubahnya kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang terjadi. 6
Permasalahan gender mulai muncul karena adanya pemahaman diskriminasi antar gender atau tidak adanya kesetaraan di dalamnya. Pemahaman akan adanya kekhususan atau kelebihan pada gender tertentu menimbulkan adanya persepsi ketidak adilan dalam agama Islam. Padahal hal ini sangat berlainan dengan ajaran Islam. Dimana, dalam agama Islam konteks keadilan sangat ditegakkan. Oleh karena itu, untuk menengahi persepsi yang terjadi, maka kita akan melihatnya dalam dua sisi (pra-modern dan modern).
Pada masa pra-modern penafsiran tentang gender menunjukkan konvergensi yang tinggi. Kebanyakan mufasir memahami bahwa perempuan tidak setara dengan laki-laki dan menyatakan bahwa perempuan harus tunduk pada kewenangan laki-laki. Hal ini terjadi bukanlah tanpa sebab, pada masa itu kehidupan di semua lini di dominasi oleh laki-laki dan perempuan hanya dianggap inferior atas laki-laki baik dalam hal intelektual maupun biologis. Jadi pada masa itu kaum laki-laki dianggap berada satu tingkat diatas perempuan dan kaum laki-laki menjadi pelindung kaum perempuan serta bertanggung jawab atas berbagai urusan keagamaan, politik, sosial, dan budaya pada masyarakat.
Akan tetapi pada konteks kekinian, sikap apologetik tersebut sudah tidak relevan dipraktekkan, apalagi melihat kondisi dunia Islam sekarang yang tampaknya masih jauh dari ideal, terutama pada persoalan hak-hak perempuan. Oleh karena itu muncullah sejumlah pemikir islam yang mendorong adanya pergeseran paradigma dalam penafsiran Al-Quran, terutama yang berbicara masalah perempuan. Jika masa dulu penafsiran seolah menjadi wilayah eksklusif mufasir laki-laki, pada masa sekarang hal itu sudah tidak berlaku. Muncullah nama-nama seperti Riffat Hassan, Fatimah Mernissi dan Amina Wadud Muhsin yang menghadirkan penafsiran baru pada ayat-ayat Al-Quran.
Belakangan, pada era kontemporer ini kampanye kesetaraan gender mulai banyak di kemukakan. Konteks dahulu dan sekarang berbeda, dimana pada masa sekarang perempuan sudah memiliki ruang gerak yang cukup, bahkan bisa dibilang setara dengan laki-laki. Selain itu, adanya para mufasir feminisme yang mengangkat hak-hak perempuan, agaknya menjadi salah satu penyebabnya. Namun, banyaknya penafsiran kontekstual pada masa sekarang ini akan melahirkan beberapa pertanyaan yaitu, apakah penafsiran yang mengeksplorasi teks asli Al-Quran untuk direlevankan pada konteks keekininian ini tidakkah menjadi pemaksaan penafsiran untuk menyamakan dengan teks yang asli. Dimana, apabila terjadi kegagalan dalam hal ini bisa memunculkan penafsiran yang tidak hanya tidak relevan tetapi juga tidak sesuai dan menghalangi jalan dalam rangka mencapai tujuan keadilan dan kejujuran Al-Quran.
SUMBER
Abdullah Saeed. Al-Quran Abad 21. 2016. Terjemahan Ervan Nurtawab. Bandung : PT Pustaka
Mizan.
Nurrochman. 2014. “Al-QURAN DAN ISU KESETARAAN GENDER: Membongkar Tafsir
Bias Gender, Menuju Tafsir Ramah Perempuan. Dalam jurnal Wahana Akademika. 1 (2
Baca Juga: Budaya Demokrasi
Comments
Post a Comment