HUKUM ADZAN BERSAHUT-SAHUT

Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum azan, ada yang mengatakan sunah muakkad dan ada yang mengatakan fardu kifayah. Dalam mazhab Syafi’i azan adalah sunnah kifayah bagi orang banyak dan sunah ain bagi satu orang, mazhab hanafi mengatakan azan adalah sunah  kifayah yang muakkad bagi satu penduduk daerah, mazhab Maliki mengatakan azan adalah sunah kifayah di setiap masjid atau di tempat berkumpulnya orang-orang untuk melakukan solat jamaah, sedangkan menurut mazhab Hambali azan adalah fardu kifayah untuk solat waktu ketika sudah masuk waktu. 
Dewasa ini, kita pasti sering mendengar azan yang bersahut-sahutan (terjadi beberapa kali). Di indonesia, masjid sangat banyak jumlahnya bahkan hampir di setiap lokasi ada masjid atau musholla dan hampir semua masjid menggunakan speaker atau pengeras suara. Bagi orang islam azan mungkin hal yang wajar (bernuansa syariat), akan tetapi apabila kita berada di lingkungan non-muslim atau lingkungan umum yang tidak semua menyukai azan dengan menggunakan pengeras suara, bagaimana cara kita bertoleransi dalam hal azan? Karena tidak bisa dimungkiri bahwa ada beberapa anggota masyarakat yang merasa terganggu dengan adanya azan yang menggunakan pengeras suara dan itu terjadi berulang-ulang (bersahut-sahutan).  
Dari realita yang terjadi di masyarakat seperti itu dan hukum azan menurut 4 mazhab maka menurut hemat penulis jika kita berada di lingkungan non muslim atau di lingkungan umum yang tidak semuanya menyukai adanya azan dengan pengeras suara maka kita sebagai muslim harus menghargai itu dan menyesuaikan keadaan yang ada, karena agama islam adalah agam yang damai dan cinta kedamaian. Apabila terjadi masalah seperti itu maka kita harus menggunakan pendapat yang mengatakan bahwa azan hukumnya  sunah kifayah bagi orang banyak di suatu daerah, seperti pendapat mazhab syafii. Jadi, kita mengumandangkan azan sekali saja meskipun di lingkungan kita terdapat banyak mushollah atau masjid (tidak mengulang-ulang azan). 
Untuk hukum menjawab azan yang berulang-ulang An-Nawawi menjelaskan tentang hukum menjawab azan yang berulang di satu tempat,
فيه خلاف للسلف حكاه القاضي عياض في شرح صحيح مسلم، ولم أر فيه شيئاً لأصحابنا، والمسألة محتملة، والمختار أن يقال: المتابعة سنة متأكدة، يكره تركها، لصريح الأحاديث الصحيحة بالأمر بها، وهذا يختص بالأول، لأن الأمر لا يقتضي التكرار وأما أصل الفضيلة والثواب في المتابعة، فلا يختص، والله أعلم
Ada perbedaan pendapat ulama, seperti yang dinyatakan al-Qadhi Iyadh dalam Syarh Sahih Muslim. dan saya tidak menjumpai pendapat masalah ini pada ulama madzhab Syafiiyah. Dan permasalahan ini ada beberapa kemungkinan. Kesimpulan yang lebih tepat bahwa menjawab azan hukumnya sunah muakkad (ditekankan), makruh jika ditinggalkan, berdasarkan hadis sahih yang secara tegas memerintahkannya. Dan ini hanya khusus untuk menjawab azan yang pertama. Karena perintah tidak menunjukkan harus diulang. Hanya saja, keutamaan dan pahala menjawab azan, tidak hanya khusus untuk menjawab azan yang pertama. Allahu alam. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/119).
Dengan demikian, jika kita mendengar azan yang berulang-ulang, cukup dijawab yang paling dekat dengan kita, meskipun boleh saja menjawab yang lain, dan kita tetap mendapatkan keutamaan menjawab azan. 

Comments